Jumat, 08 Maret 2013

Sudah Layakkah Perpustakaan Kita?

Oleh: Thoriq Tri Prabowo

Perpustakaan merupakan lembaga non profit, yaitu sebuah lembaga yang tujuan utamanya bukan meraih keuntungan dari jasa yang diberikan. Perpustakaan tidak akan memungut biaya dari jasa dan layanan yang diberikannya. Cukup dengan hanya menjadi anggota pengguna bisa mengakses berjuta informasi yang kita inginkan. Sesuai dengan tujuan awalnya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, perpustakaan dituntut melayani pengguna dengan prima.
Namun, kenyataan yang ada tidak demikian. Banyak perpustakaan yang lebih mirip dengan gudang ketimbang dengan perpusstakaan itu sendiri. Banyak debu dimana-mana, rak-rak kayu yang mulai rapuh, kursi-kursi bekas, lemari kartu katalog yang mulai ditinggalkan karena dirasa kurang memenuhi kebutuhan pengguna yang mobilitasnya sangat padat, dan masih banyak lagi kondisi yang sangat memprihatinkan dari perpustakaan-perpustakaan negeri ini.
Bagaimana perpustakaan akan menjalankan progam mencerdasakan kehidupan bangsa-nya jika kondisinya demikian?. Perpustakaan perlu berbenah untuk menggapai mimpinya. Perpustakaan di sebuah instansi hingga sekarang ibarat anak tiri yang kurang diperhatikan keberadaannya. Yang padahal perpustakaan adalah elemen pokok untuk mengembangkaan pengetahuan lewat layanan informasi yang ditawarkannya. Pemimpin-pemimpin dan semua eleman masyarakat Indonesia perlu mengetahui tujuan dan kegiatan dalam perpustakaan. Perlu ada pemahaman terhadap eksistensi perpustakaan agar keilmuan di negeri ini berkembang.

Perpustakaan Sekolah Wajib Hukumnya

Oleh: Thoriq Tri Prabowo
Keberhasilan pembelajaran tidak hanya bertumpu dari intelegenitas siswa. Tetapi salah satunya yang berperan adalah sekolah. Yaitu sekolah yang menyediakan segala sarana untuk menunjang terselanggaranya pembelajaran. Sekolah yang mau menyisihkan sebagian dari anggarannya untuk keperluan perbaikan atau pengadaan sarana belajar yang paling vital, yaitu perpustakaan.
Perpustakaan harus menyediakan semua informasi yang dibutuhkan pemustakanya, terutama pemustaka di komunitas perpustakaan itu berdiri. Jika perpustakaan sekolah, maka perpustakaan harus menyediakan informasi yang dibutuhkan seluruh civitas akademikanya, baik siswa, guru, karyawan, maupun wali murid. Jika perpustakaan sudah bisa memenuhi hal tersebut,  perpustakaan akan dirasakan sekali manfaatnya.
Sekolah akan pincang tanpa perpustakaan. Sekolah akan berjalan sendiri dalam mendidik siswanya. Setelah jam pelajaran selesai, siswa pulang dengan ilmu yang ia ingat saja. Sedang perpustakaan sekolah menyediakan sarana belajar sampai setelah jam pelajaran habis, yang membantu siswa mengeksplorasi sendiri materi yang diajarkan di kelas.
Pendidikan yang hanya melaksanakan pembelajaran di kelas saja akan sangat jauh berbeda dengan pendidikan yang mengeksplorasi imajinasi siswanya dengan melihat dunia luar. Bukan dengan bepergian, melainkan cukup dengan membaca buku, dan tentu buku yang terdapat di perpustakaan.
Perpustakaan tidak lagi menjadi atribut pelengkap, melainkan menjadi ujung tombak dari keberhasilan pembelajaran. Perpustakaan yang didukung dengan pengelola dan sistem informasi yang baik akan memenuhi kebutuhan informasi penggunanya dengan tepat dan cepat seperti halnya google. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa untuk mewujudkannya membutuhkan dana yang tidak sedikit.

PDKT dengan Perpustakaan

Oleh: Thoriq Tri Prabowo
Belajar merupakan kewajiban seorang siswa, dari dulu sampai sekarang. Dengan belajar siswa diharapkan bisa menggali dan mengembangkan potensi yang Ia miliki. Banyak hal yang bisa dipelajari, baik dalam bidang akademis maupun non akademis. Tentu saja siswa membutuhkan referensi belajar yang memadai, baik dalam segi fisik maupun segi materi/isi.
Perpustakaan merupakan tempat yang didirikan untuk memenuhi kebutuhan informasi para penggunanya. Pun begitu, dengan perpustakaan di sekolah-sekolah yang bertujuan sebagai media belajar para siswanya. Perpustakaan menjadi sangat perlu, jika mengingat bahwa tugas utama seorang pelajar adalah belajar. Bayangkan saja jika di sebuah instansi pendidikan seperti sekolah tak memiliki perpustakaan? Ya, mungkin bisa dikatakan sekolah tersebut buta dan tuli informasi.
Sebagian siswa barangkali memanfaatkan perpustakaan sebagai sarana belajar mereka. Namun sayangnya banyak yang tidak menyadari pentingnya perpustakaan. Mereka menganggap bahwa perpustakaan hanya bangunan atribut pelengkap sekolah. Karena janggal jika sebuah sekolah berdiri tanpa sebuah perpustakaan. Sangat ironis, padahal majunya suatu sekolah ditentukan dengan keberhasilan siswanya dalam mengolah pengetahuan dan informasi.

Budaya Literasi Informasi



Pendidikan sudah menjadi kebutuhan primer di era ini, seseorang dipandang terhormat bukan karena harta dan tahtanya lagi, tetapi dari seberapa berpendidikan ia. Pendidikan sangat identik dengan membaca, karena tanpa membaca seseorang akan buta informasi. Bahan bacaan pun sangat bervariasi, mulai dari buku teks yang ada di perpustakaan, koran, jurnal, dan lainnya. Dari semua bahan bacaan tersebut manusia akan mendapat banyak informasi.
Mendapatkan informasi atau berita di zaman sekarang bukanlah hal yang susah. Adanya gadget yang memiliki kemampuan untuk mengakses internet dimana pun dan kapan pun menjadikan persebaran informasi berkembang sangat pesat. Informasi yang dahulunya susah didapat, sekarang berbalik menjadi begitu mudah didapat, bahkan cenderung sangat melimpah.
Kini yang menjadi persoalan bukan lagi “Bagaimana mendapatkan informasi?” tetapi “Bagaimana memilah dan memilih informasi yang valid?”. Komersialisasi informasi menjadikan banyak media dan sumber-sumber informasi lainnya kurang obyektif dalam menyajikan informasi. Sehingga menyebabkan kebingungan pada masyarakat sipil yang benar-benar membutuhkan informasi tersebut. Masyarakat harus lebih jeli dan selektif dalam menilai berita yang ada baik di media massa, internet, atau dimana saja.

Perpustakaan Mengontrol Peradaban Bangsa


Indonesia merupakan negara yang tingkatan minat baca masyarakatnya masih tergolong rendah ketimbang negara-negara lain. Menurut International Publishers Association of Canada, rata-rata masyarakat Indonesia hanya mampu membaca sekitar 5.000 judul buku setiap tahun. Bandingkan dengan Malaysia 15.000 judul buku, Jepang 65.000 judul, Jerman 80.000 judul dan Inggris 100.000 judul setiap tahun. Ironis sekali. Bagaimana negara akan maju jika ilmu pengetahuan dan pendidikannya tidak berkembang?.
Rendahnya minat baca membuat pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia tidak berkembang dengan baik. Tidak heran jika di kancah internasional Indonesia masih sangat tertingggal dari segi apapun. Bukan mustahil jika penyebabnya adalah minat baca masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah, karena bagaimanapun ilmu pengetahuan diperoleh sebagian besar dari membaca.
Selain rendahnya minat baca, ada faktor lain yang menyebabkan keterbelakangan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia, yaitu adalah kualitas buku bacaan. Beberapa waktu yang lalu ada beberapa kasus bahwa buku bacaan dengan konten yang mengandung pornografi, sara, dan hal yang tidak sepantasnya dibaca oleh siswa tetapi justru masuk ke kalangan sekolah, sangat memperihatinkan memang.

Satu Rumah Ibadah Satu Perpustakaan

Indonesia adalah negara dengan beragam suku, budaya, bahasa, agama dan lainnya. Dari sabang sampai merauke tergabung menjadi sebuah kesatuan bernama Indonesia. Menjadi negara multikultural bukan suatu hal yang mudah, begitu banyak tantangan yang harus dihadapi. Dalam hal itu perbedaan persepsi yang kerap kali memicu timbulnya konflik, dari konflik kecil sampai konflik yang serius. Konflik yang sering muncul adalah berkaitan dengan SARA. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman dan informasi masyarakat terhadap golongan yang lain.
Mulai dari pelecehan, kekerasan, bahkan sampai adanya perusakan terhadap rumah-rumah ibadah. Ironisnya tindakan kriminal tersebut mengatas namakan gerakan keagamaan. Akan sangat berbahaya jika kasus-kasus tersebut terus berlanjut. Dalam hal ini perlu adanya pemahaman dan informasi lebih lanjut bagi masyarakat untuk meminimalisir terjadinya tindak-tindak yang berbau pada pelecehan dengan unsur SARA.

Senin, 03 Desember 2012

Retorika Komedi Tingkatkan Efektifitas Belajar



Stand up comedy merupakan sebuah genre komedi yang sedang mendapat perhatian besar masyarakat Indonesia. Comic adalah julukan untuk pelaku stand up comedy. Berdiri seorang diri dengan membawakan cerita lucu untuk membuat penontonnya tertawa terbahak-bahak, begitulah gambaran singkatnya. Penerapannya dalam dunia pendidikan akan memberikan suatu kesegaran baru bagi yang terlibat di dalamnya.
Lalu bagaimana implementasi genre komedi tersebut untuk meningkatkan efektifitas belajar?
Kegiatan belajar mengajar tak pernah terpisah dari kegiatan berkomunikasi. Entah komunikasi satu arah, dari pengajar ke peserta didik, atau komunikasi dua arah yang melibatkan keduanya. Dan keduanya tidak mudah, tanpa keahlian tertentu dan kerjasama yang baik diantara keduanya.
Banyak sekali metode belajar menurut teori pengajaran, namun semua kembali kepada keadaan, baik keadaan pengajar atau pun peserta didiknya. Pengajar berperan penting dalam hal ini untuk menganalisis keadaan peserta didiknya. Terutama mahasiswa yang orientasi belajarnya adalah pemahaman dan aplikasi ke dalam dunia nyata. Maka dari itu materi kuliah yang disampaikan dosen seyogianya bisa dipahami dengan baik.
Penguasaan materi merupakan syarat mutlak bagi pengajar mengajar. Namun penyampaian materi tetap kembali kepada skill berkomunikasi pengajarnya. Pengembangan retorika sangat diperlukan untuk menetralisir kejenuhan mahasiswa. Salah satu metodenya adalah dengan menyelipkan intermezzo di sela-sela materi kuliah.